Persoalan Tata Guna Lahan Bandara Soekarno Hatta

Bandara Soekarno Hatta merupakan bandara terbesar di Indonesia dengan tingkat aktifitas sirkulasi penerbangan yang padat.  Dengan jumlah hampir puluhan maskapai penerbangan yang singgah di bandara ini per harinya tentunya  menuntut perlunya perluasan area bandara.
Ada beberapa masalah yang tergambar jelas dari persolalan tata lahan Bandara Soekarno Hatta. Seperti yang dijelaskan semula, pertama 0tama adalah lahan bandara yang butuh perluasan, karena faktanya untuk dapat menampung banyak aktifitas penerbangan, beberapa maskapai harus “parkir”  di beberapa bandara di daerah lain. Masalah yang kedua adalah jarak jalan akses kendaraan umum disekitar yang terlalu dekat jaraknya dengan landasan pacu pesawat.
Memang telah ada master plan untuk pembangunan bandara ini yang rencananya akan berfungsi maksimal tahun2 020 nanti, namun untuk mencapai tujuan ini, pihak pengembang mengalami banyak kendala , salah satunya datang dari kalangan masyarakat di sekitar , yaitu masalah pembebasan lahan. Pihak pengembang masih terkendala dengan pembebasan lahan.
Mengingat pada Undang-Undang no.24 tahun 1992 mengatur tentang tata ruang wilayah menegaskan pada Pasal 23 Ayat (2)
Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan diprioritaskan bagi kepentingan nasional berdasarkan pertimbangan kriteria strategi seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3).
Nilai strategis ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan :
            a. mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
            b. mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun terhadap kegiatan lainnya;
            c. merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.

Dengan demikian, penataan ruang kawasan tertentu dianggap perlu untuk memperoleh prioritas baik dalam hal penyusunan rencana tata ruang, pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, maupun dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan kawasan tertentu dilakukan oleh Pemerintah.
Kawasan Bandara Soekarno Hatta merupakan kawasan yang berpengaruh besar dalam pengembangan tata wilayah sekitarnya.  Dalam perencanaan awalnya terlihat jelas tidak ada pemikiran future use untuk saat ini. Sehingga menimbulkan masalah seperti kekurangan lahan untuk tempat berlabuhnya pesawat.
Master plan tahun 2020 tentang perluasan bandara ini, terhalang kendala pembebasan lahan. Masyarakat disekitar lahan bandara mempunyai surat kepemilikan yang sah dan menunutu harga yang tinggi sebagai ganti rugi.  Seharusnya pada perencanaan awal tata ruang wilayah ini, pemerintah selaku pengatur tata ruang tidak menerbitkan surat kepemilikan kepada warga, sehingga lahan bandara ini, masih bisa dikembangkan. Walaupun masih bisa membeli, tetapi harga jual tanah di sekitar lahan itu ditaksir memiliki nilai tinggi, sehingga menghambat proses pembebasan lahan.
Menimbang peraturan tentang kepemilikan tanah telah diatur pada UU no.24 tahun 1992 Pasal 26 Ayat (1)
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah adanya Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan itikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaat ruang yang mempunyai bukti-bukti hukum sah berupa perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain.
Penggantian yang layak pada pihak yang menderita sebagai akibat pembatalan izin menjadi kewajiban bagi instansi Pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang bersangkutan.
Besarnya penggantian yang layak berarti tidak mengurangi tingkat kesejahteraan pihak yang bersangkutan. Apabila terjadi sengketa dalam penggantian oleh Pemerintah, penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akibat kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah berubahnya fungsi ruang sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan.
Pemulihan fungsi pemanfaatan ruang ini diselenggarakan untuk merehabilitasi fungsi ruang tersebut. Pemulihan fungsi tersebut menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat II, sesuai dengan alokasi dana sebagaimana tercantum dalam program pembangunan.

Coba kita bandingkan dengan Negara tetangga kita, Malaysia, bandara Internasionalnya  dikelilingi oleh hutan kelapa sawit. Pada kasus ini ada pertimbangan tata ruang, sehingga untuk pengembangan wilayah dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
Jadi kesimpulannya, tata ruang yang baik , menciptakan  tata wilayah yang baik dan sesuai dengan fungsinya.

UTILITAS PADA BANGUNAN

Apa yang terjadi jika seorang arsitek mendesain rumah tanpa jaringan listrik dan air?
Bayangkan jika anda diposisikan sebagai penghuni rumah tersebut. Bangunan baik rumah ataupun sebuah pos satpam yang dibangun biasanya tak luput dari berbagai sistem pendukung , seperti listrik, air,sarana pembuangan, dan lain-lain . nah itulah yang dinamakan utilitas.





Utilitas adalah suatu sistem pelengkap pada bangunan yang tujuannya untuk mendukung aktifitas penghuni  dalam bangunan sehingga penghuni merasa nyaman dan aman. 
“…convenience, when the arrangement of the apartments is faultless and presents no hindrance to use, and when each class of building is assigned to its suitable and appropriate exposure;..” (Vitruvius : Ten Books on Architecture. Book I. Chapter III.)
Menurut Vitruvius , Utilitas adalah pengaturan ruang yang baik, didasarkan pada fungsi, hubungan antar ruang, dan teknologi bangunan (pencahayaan, penghawaan, dan lain sebagainya). Jadi Utilitas adalah salah satu elemen penting dalam arsitektur selain firmitas (kekuatan) dan venusitas (keindahan).

Untuk merancang sebuah sistem utilitas yang baik pada bangunan, pada awalnya kita harus mengetahui jenis bangunan yang akan dibuat, bangunan dikelompokkan menjadi bangunan bertingkat rendah (low rise building), adalah bangunan dengan ketinggian 2-4 lantai. Bangunan bertingkat sedang (medium rise bulidng) adalah bangunan dengan ketinggian antara 5 – 8 lantai. Bangunan bertingkat tinggi (high rise building) adalah bangunan dengan ketinggian lebih dari 8 lantai.

Sistem utilitas pada bangunan tinggi lebih kompleks daripada sistem utilitas pada bangunan low rise building , Untuk bangunan 10 lantai, tentu saja sudah termasuk kategori bangunan high rise building, dimana kebutuhan utilitas menjadi hal yang penting. Untuk sistem elektrikal, bangunan 10 lantai menggunakan energi yang besar. Sumber energi pada umumnya adalah melalui PLN atau melalui generator. Oleh karena itu dibutuhkan ruangan panel untuk menampung panel listrik utama dan meterannya, genset dan kelengkapannya, termasuk ruang teknisinya. Setiap lantai sebaiknya diberi ruang elektrikal yang berisi panel-panel pembagi untuk ruangan di lantai tersebut. Ruangan sebaiknya tidak diakses untuk umum karena sifatnya servis.

Untuk air bersih, sumber air berasal dari PAM, atau menggunakan sumur dalam, yang kemudian ditampung dalam reservoir atau tanki. Tanki ini bisa diletakkan di atas atau di bawah, atau di keduanya. Ada dua sistem distribusi yang digunakan untuk air bersih, yaitu sistem up feed yaitu air dipompakan dari bawah ke outlet air dan sistem down feed yaitu air dipompakan dari bawah ke reservoir atas, untuk kemudian disalurkan ke outlet air secara gravitasi.

Untuk sistem penanggulangan bahaya kebakaran pada dasarnya hal yang harus diperhatikan deteksi, bisa menggunakan smoke detector atau fire detector. Selain itu tangga darurat juga dibutuhkan, hal ini sama dengan evakuasi untuk bahaya kebakaran, karena pada high rise buiding tantangan terbesar datang dari sistem penanggulangan bahaya seperti kebakaran.



Kategorisasi bangunan tinggi, dapat dilihat juga dari segi fasilitas dan sistem sirkulasinya. Sistem sirkulasi dengan eskalator hanya efektif untuk bangunan maksimum empat lantai. Lebih dari empat lantai sudah membutuhkan lift/elevator. Elevator biasa efektif untuk bangunan dengan ketinggian maksimum 30 lantai. Untuk bangunan lebih dari itu, membutuhkan kombinasi antara lift biasa dengan express lift, yaitu lift dengan kecepatan tinggi. Express lift hanya berhenti pada tiap 5-8 lantai, sedangkan untuk sirkulasi di antara rentang lantai itu tetap menggunakan lift dengan kecepatan normal. Sistem transportasi dibutuhkan lift. Sebaiknya menggunakan lift yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, supaya tidak boros energi karena lift menggunakan listrik yang besar.

Hal yang tak kalah penting pada sistem utilitas adalah bagaimana sistem itu ramah dengan lingkungan, misalnya penggunaan panel tenaga surya yang menghemat bahan bakar dan biaya.

Kesimpulannya, dengan penentuan sistem utilitas yang baik dan sesuai pada bangunan, pengguna dapat merasa nyaman dan aman untuk melakukan aktifitas dalam bangunan sehingga bangunan dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/196302041988031-MOKHAMAD_SYAOM_BARLIANA/Bahan_Ajar/Studio_Peranc_Ars_III/Bab_1-2.pdf