Bangunan –bangunan di sepanjang Jl. Gatot Subroto, Jl. S.Parman, Jl. Suprapto, Jl. Harsono RM, Jl. Ahmad Yani, Jl. Casablanca, Kawasan Kuningan, dan seterusnya, seperti Plaza Semanggi, Grand Indonesia, Sampoerna Square, Senayan City, CBIC, juga tumbuh bangunan baru pencakar langit, yang sudah pasti mengundang bangkitan lalu lintas cukup tinggi. Bahkan di tepi-tepi jalan di luar jalan protokol pun tumbuh bangunan baru yang berfungsi komersial, seperti usaha perdagangan, rumah sakit, perkantoran, atau sekolah.
Dampak positif
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta atau tempat-tempat komersial di kota-kota lain itu, di satu sisi menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, bukti bahwa sector riil terus bergerak.
Dampak negatif
· Tapi realitas empirisnya, ternyata kawasan baru yang diberi julukan kota mandiri tersebut tidak mampu menunjukkan kemandiriannya. Kawasan tersebut menjadi kawasan hunian yang nyaman, tapi ketergantungan terhadap Kota Jakarta tidak dapat dilepaskan. Pada pagi hari warga ”kota mandiri” itu berduyun-duyun menuju Jakarta, sedangkan pada sore hingga malam hari mereka kembali berduyun-duyun meninggalkan Kota Jakarta. Akibatnya, keberadaan kawasan baru yang dimaksudkan sebagai ”Kota Mandiri” itu justru menambah deret kemacetan menuju Kota Jakarta.
Boleh jadi, pembangunan gedung-gedung baru pencakar langit di Kota Jakarta itu sebagai bentuk respon kegagalan pembangunan kota mandiri yang tidak betul-betul mandiri.
· Kehadiran bangunan-bangunan baru pencakar langit itu makin menambah padat Kota Jakarta, yang selama ini sudah dipenuhi oleh tempat-tempat perbelanjaan. Berdasarkan data Biro Perekonomian DKI Jakarta, di DKI Jakarta saat ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan, baik yang berupa mall, toserba, pertokoan, dan lainnya yang tersebar di lima wilayah: Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara
· Boleh jadi di antara bangunan-bangunan komersial atau gedung-gedung baru pencakar langit tersebut tidak sesuai dengan master plan Kota Jakarta. Kontroversi lapangan sepakbola Persija di Menteng yang diubah menjadi lahan parkir dan taman misalnya, dapat menjadi contoh bagaimana master plan Kota Jakarta tidak selalu ditaati, termasuk oleh Pemda DKI Jakarta sendiri. Untuk membenarkan tindakannya itu Pemda selalu melakukan revisi terhadap master plan yang ada, sehingga kalau melihat master plan yang ada dikaitkan dengan kondisi yang ada, seakan sesuai. Tapi bila kita lihat master plan sepuluh tahun yang lalu, maka kondisi yang ada sekarang banyak yang menyalahi master plan.
· Perubahan-perubahan itu tidak otomatis disertai dengan analisis dampak lalu lintas (Amdalalin), sehingga kemudian melahirkan problem baru berupa kemacetan, seperti yang tampak jelas terjadi di depan Plaza Semanggi. Arus lalu lintas dari arah Jl. Suparman dan Jl. Sudirman yang mengarah ke Jl. Gatot Subroto terhambat oleh banyaknya kendaraan yang masuk ke Plaza Semanggi. Pada saat yang sama, karena plaza tersebut memiliki potensi penumpang yang cukup signifikan, angkutan umum banyak yang ngetem di sana. Beruntung, pihak managemen Plaza Semanggi telah melakukan perbaikan pintu masuk melalui belakang, sehingga tingkat kemacetan atau ketertundaan di depan plaza dapat berkurang.Kondisi yang sama akan terjadi di depan Grand Indonesia (dulu Hotel HI) bila seluruh bangunan di kawasan tersebut sudah dioperasikan. Banyaknya mobil pribadi yang keluar masuk kawasan tersebut (hotel dan perbelanjaan) secara otomatis akan melahirkan bangkitan baru. Apalagi di seberangnya juga terdapat bangunan komersial baru yang akan melahirkan bangkitan lalu lintas pula. Keberadaan kedua bangunan komersial tersebut akan membuat sesak lalu lintas di sekitar bundaran HI yang akan berdampak panjang. Dari selatan sampai Blok M, sedangkan dari arah utara dampaknya sampai Kota Tua.
Daftar referensi
Essay dengan judul” BANGUNAN BARU DAN ANCAMAN KEMACETAN DI JAKARTA” oleh : DR. Bambang Susantono