Hukum Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property); dalam bidang hukum keluarga (familiy law); dalam bidang hukum waris (law of succession); dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas contoh-contohnya adalah sbb:
Ú Dalam bidang hukum harta kekayaan : perikatan jual beli, sewa menyewa, pembayaran tanpa hutang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang.
Ú Dalam bidang hukum keluarga : perikatan karena perkawinan, kelahiran anak dsb
Ú Dalam bidang hukum waris : perikatan untuk mewaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris, dll.
Ú Dalam bidang hukum pribadi : perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dsb.
Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Sumber-sumber Perikatan.
Sesuai ketentuan pasal 1233 KUHPdt, perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.
Hukum Perikatan
► Perjanjian
► Perjanjian
Menurut pasal 1313 KUHPdt. “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya etrhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sbb :
– Hanya menyangkut sepihak saja.
– Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus.
– Pengertian perjanjian terlalu luas.
– Tanpa menyebut tujuan.
Unsur-unsur Perjanjian :
Ú Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang.
Ú Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
Ú Ada tujuan yang akan dicapai
Ú Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Ú Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Ú Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Ketentuan pasal 1320 KUHPdt tentang syarat-syarat sah perjanjian :
Ú Syarat ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Ú Syarat kecakapan pihak-pihak dalam membuat perjanjian (capacity).
Ú Ada suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian (a certain subject matter).
Ú Ada kausa yang halal yang mendasari perjanjian itu (legal cause).
Kasus Penipuan
Selly Dituntut 1 Tahun Penjara
Novi Christiastuti Adiputri – detikNews
Jakarta - Proses persidangan kasus penipuan dengan terdakwa Selly Yustiawati alias Rasellya Rahman Taher telah mencapai tahapan tuntutan di Pengadilan Negeri Bogor Kota. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Selly dituntut hukuman 1 tahun penjara.
"Jaksa menuntut 1 tahun penjara," ujar salah satu pengacara Selly, Ramdan Alamsyah, kepada detikcom, Senin (11/7/2011).
Sidang tuntutan Selly berlangsung di Pengadilan Negeri Bogor Kota, Jawa Barat. Dalam tuntutannya, JPU meyakini bahwa dakwaan atas Selly terbukti sesuai dengan fakta persidangan. JPU meyakini Selly bersalah melakukan tindak pidana penipuan dengan cara-cara yang disebutkan dalam dakwaan.
"Selly dijerat pasal penipuan dan pengelapan, pasal 378 dan pasal 372 KUHP," tuturnya.
Terhadap tuntutan JPU ini, pihak penasihat hukum Selly memiliki tanggapan tersendiri. Secara umum, penasihat hukum menghargai kewajiban JPU untuk menyampaikan tuntutan, namun secara substansi tak sepakat dengan semua dakwaan yang dikenakan JPU atas Selly.
Ramdan meyakini dalam kasus ini tidak ada pihak yang dirugikan. Menurutnya, pada persidangan sebelumnya salah seorang saksi yang juga korban telah mengakui bahwa uangnya yang sempat dipinjam Selly telah dikembalikan beserta bunganya.
"Dari tim penasihat hukum melihat pada fakta persidangan yang ada, tidak ada pihak yang dirugikan. Yang pernah meminjamkan mengakui uangnya sudah dikembalikan dengan keuntungan," ucapnya.
Jerat hukum untuk Selly berawal dari Vica, warga Bogor yang melaporkan Selly karena merasa ditipu Rp 10 juta dengan dalih bisnis pulsa. Pada awalnya Vica mengenal Selly melalui temannya, dan Selly berhasil memecah pertemanan Vica.
Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polresta Bogor kemudian resmi menetapkan Selly masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada tanggal 4 Maret 2010.
Selly ditangkap di Hotel Amaris Kuta, Denpasar, Bali pada Sabtu 26 Maret 2011. Ia tertangkap sedang berduaan dengan kekasihnya, Bima, seorang mahasiswa PTN ternama di Yogyakarta.
Selain itu, Selly diduga melakukan aksi penipuan dengan berbagai modus sejak 2006. Selly diduga meraup uang ratusan juta rupiah dari berbagai korbannya di Universitas Moestopo, Hotel Gran Mahakam, Kompas Gramedia, dan berbagai korban individu di Jakarta, Bandung, Depok, Bogor dan sejumlah kota lain.
Sejumlah laporan telah masuk ke tangan sejumlah kantor polisi. Namun, Selly selalu lolos dari jeratan hukum. Kasus penipuan yang dilaporkan oleh sejumlah korban berujung dengan surat pernyataan belaka, tanpa Selly bertanggung jawab.
(nvc/irw)
"Jaksa menuntut 1 tahun penjara," ujar salah satu pengacara Selly, Ramdan Alamsyah, kepada detikcom, Senin (11/7/2011).
Sidang tuntutan Selly berlangsung di Pengadilan Negeri Bogor Kota, Jawa Barat. Dalam tuntutannya, JPU meyakini bahwa dakwaan atas Selly terbukti sesuai dengan fakta persidangan. JPU meyakini Selly bersalah melakukan tindak pidana penipuan dengan cara-cara yang disebutkan dalam dakwaan.
"Selly dijerat pasal penipuan dan pengelapan, pasal 378 dan pasal 372 KUHP," tuturnya.
Terhadap tuntutan JPU ini, pihak penasihat hukum Selly memiliki tanggapan tersendiri. Secara umum, penasihat hukum menghargai kewajiban JPU untuk menyampaikan tuntutan, namun secara substansi tak sepakat dengan semua dakwaan yang dikenakan JPU atas Selly.
Ramdan meyakini dalam kasus ini tidak ada pihak yang dirugikan. Menurutnya, pada persidangan sebelumnya salah seorang saksi yang juga korban telah mengakui bahwa uangnya yang sempat dipinjam Selly telah dikembalikan beserta bunganya.
"Dari tim penasihat hukum melihat pada fakta persidangan yang ada, tidak ada pihak yang dirugikan. Yang pernah meminjamkan mengakui uangnya sudah dikembalikan dengan keuntungan," ucapnya.
Jerat hukum untuk Selly berawal dari Vica, warga Bogor yang melaporkan Selly karena merasa ditipu Rp 10 juta dengan dalih bisnis pulsa. Pada awalnya Vica mengenal Selly melalui temannya, dan Selly berhasil memecah pertemanan Vica.
Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polresta Bogor kemudian resmi menetapkan Selly masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada tanggal 4 Maret 2010.
Selly ditangkap di Hotel Amaris Kuta, Denpasar, Bali pada Sabtu 26 Maret 2011. Ia tertangkap sedang berduaan dengan kekasihnya, Bima, seorang mahasiswa PTN ternama di Yogyakarta.
Selain itu, Selly diduga melakukan aksi penipuan dengan berbagai modus sejak 2006. Selly diduga meraup uang ratusan juta rupiah dari berbagai korbannya di Universitas Moestopo, Hotel Gran Mahakam, Kompas Gramedia, dan berbagai korban individu di Jakarta, Bandung, Depok, Bogor dan sejumlah kota lain.
Sejumlah laporan telah masuk ke tangan sejumlah kantor polisi. Namun, Selly selalu lolos dari jeratan hukum. Kasus penipuan yang dilaporkan oleh sejumlah korban berujung dengan surat pernyataan belaka, tanpa Selly bertanggung jawab.
(nvc/irw)
Dari kasus diatas, kita melihat kasus penipuan yang dilakukan tersangka (selly) sebenarnya tidak perlu terjadi, menurut Unsur-unsur Perjanjian :
Ú Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang.
Ú Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
Ú Ada tujuan yang akan dicapai
Ú Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Ú Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Ú Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Memang antara kedua pihak telah ada persetujuan, dalam hal ini adalah peminjaman uang yang dilakukan tersangka kepada korban, namun problem yang mendasar adalah tidak adanya adanya perjanjian dalam bentuk tulisan, dan hanya dilakuakan secara lisan. Melihat lebih dalam, sebenarnya bagian dari kasus diatas adalah bagaimana, sang pelaku dapat membuat korban melakukan perjanjian tanpa dalam bentuk tulisan, inilah sebenarnya bentuk penipuan tersebut.
Menurut saya, hukum ini melemahkan perjanjian, harusnya peraturan yang ada lebih spesifik dengan menjabarkan jenis-jenis perjanjian dan dengan syarat-syarat perjanjiannya masing-masing yang lebih mengikat, karena perjanjian lisan atau tulisan maka , dengan tidak adanya bukti tertulis melemahkan korban. Kasus ini tidak perlu terjadi, jika hukumnya lebih tegasmenekankan pada perjajian tertulis.
Melihat lebih dalam, sebenarnya bagian dari kasus diatas adalah bagaimana, sang pelaku dapat membuat korban melakukan perjanjian tanpa dalam bentuk tulisan, inilah sebenarnya bentuk penipuan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar